Slideshow

Widget Slideshow

Slideshow

Widget Slideshow

Senin, 24 Juni 2013

PERPUSTAKAAN SEBAGAI PUSAT SUMBER BELAJAR

 


Banyak kawasan yang sangat memerlukan dukungan perpustakaan untuk memperbaiki kualitas hidup warganya. Untuk keperluan itu tidak cukup hanya tersedia sekolah-sekolah yang menampung anak-anak usia sekolah, melainkan diperlukan juga tersedianya bahan pustaka yang efektif sebagai sumber belajar bagi populasinya yang tidak (lagi) bersekolah dan sebagai orang dewasa telah menjadi andalah pencari nafkah bagi keluarganya. Kita semua maklum bahwa ketertinggalan suatu masyarakat terutama disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: ketidaktahuan, kemiskinan, dan penyakit (ignorence, poverty and disease). Ketiga faktor berkaitan erat satu sama lain, dan dalam usaha untuk menaggulanginya biasanya diutamakan berbagai ikhtiar yang ditujukan pada teratasinya faktor ignorasi, seperti antara lain program pemberantasan butahuruf, disusul dengan penyelenggaraan sekolah-sekolah dan kursus-kursus. Berbagai ikhtiar tersebut ditujukan pada meningkatnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat ybs; singkatnya, tindakan untuk mengatasi ketertinggalan sesuatu masyarakat biasanya dimulai dengan ikhtiar untuk meningkatkan kecerdasannya. Dengan meningkatnya kecerdasan masyarakat maka meluas pula cakrawala pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Perpustakaan merupakan salah satu di antara sarana dan sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli oleh peminatnya masing-masing. Tersedianya beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya, dan kalau warga masyarakat itu masing-masing menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihannya, maka akhirnya merata pula peningkatan taraf kecerdasan masyarakat itu. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh meningkatnya taraf kecerdasan warganya, maka kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan kemasyarakatan niscaya turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan.
Kiranya tidak perlu diperbincangkan lagi bahwa ‘baca-tulis-hitung’ itu merupakan kemampuan dasar yang menjadi andalan bagi upaya peningkatan kecerdasan manusia. Bahkan lebih dari hanya meningkatkan kecerdasannya, kemampuan dasar t ersebut merupakan pendukung utama bagi perkembangan peradaban manusia. Sejarah mencatat, betapa peradaban manusia cenderung menjulang tatkala mendapat dukungan dari perkembangan tiga kemampuan dasar itu manusia memperluas cakrawala wawasannya dan seiring dengan itu juga semakin kaya dengan berbagai ikhtiar untu meningkatkan mutu perikehidupannya.
Sejarah peradaban pun telah membuktikan betapa besar pengaruh perubahan penguasaan ketiga kemampuan dasar itu terhadap perkembangan prestasi kecerdasan masyarakat yang bersangkutan. Daya ciptanya pun makin mencuat melalui penemuan hal-ihwal ‘baru’ yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan mutu perikehidupan warga masyarakat itu. Demikianlah yang dapat kita saksikan manakala dalam suatu masyarakat terjadi peralihan dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Tradisi lisan sebagaimana terjadi dalam pengalihan dongeng, legenda, mitos, dan sebagainya dari satu generasi ke generasi tentu mengalami perubahan, bahkan mungkin perubahan yang distortif, karena bagaimanapun juga sesuatu periwayatan yang pengalihannya berlangsung dari mulut ke mulut tidak senantiasa terjamin sesuai dengan aslinya.
Lain halnya dengan periwayatan yang diteruskan sebagai tulisan dan dialihkan sebagai bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahan bacaan demikian itu merupakan rekaman yang jauh lebih menjamin dapat dipertahankanya keaslian muatanny. Tentu saja tulisan dan bahan bacaan juga bisa mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah; sesuatu naskah yang ditulis berdasarkan tradisi lisan bisa saja mengalami perubahan, apalagi kalau suatu periwayatan kemudian ditulis oleh beberapa orang penulis, sehingga terdapat beberapa varian atau versi mengenai ihwal yang diriwayatkan. Namun sekali naskah tertulis itu menemukan wujudnya, maka menetaplah jejaknya, terkecuali kalau rusak dimakan zaman.
Demikian pula halnya dengan agama-agama yang tergolong sebagai ‘ahli kitab’, yang sama artinya ‘keluarga atau kelompok yang memiliki kitab’, d.h.i. kitab suci. Sulit dibayangkan bagaimana sesuatu ajaran agama dapat dilanjutkan antar generasi tanpa pelestarian melalui kitab sucinya, melainkan sekedar diandalkan pada periwayatan lisan dari satu generasi penganutnya kepada generasi berikutnya. Tentu saja tulisan sebagai jejak yang ditinggalkan manusia dalam perjalanan waktu bisa berubah atau diubah. Akan tetapi dalam pengalihan antar generasi sebab musabab terjadinya perubahan pada rekaman berupa tulisan tentu berbeda dengan perubahan yang terjadi karena pengalihan penuturan secara lisan. Studi-studi folklore dan fiologi dapat lebih memperjelas faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya perubahan-perubahan termaksud.
Menarik sekali bahwa dalam bahasa Arab, kata benda kitab yang berarti buku, bertaut erat dengan kata kerja kataba yang artinya menulis. Maka buku yang bermuatan bacaan hanya mungkin terwujud jika ada yang menuliskan bahannya. Demikianlah kemampuan membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kemampuan ini bukan saja meliputi pengenalan huruf sebagai elemen untuk menyusun kata dan selanjutnya kata menjadi komponen untuk pembentukan kalimat, melainkan juga pengenalan angka sebagai lambang yang berkaitan dengan kemungkinan untuk melakukan kuantifikasi. Maka kemampuan ‘baca-tulis-hitung’ (yang dalam lingkungan pendidikan di sekolah terkenal sebagai the 3-RS, yaitu Reading, Writing, aRithmetic) sesungguhnya merupakan satu kemasan kemampuan yang selalu diajarkan pada anak sejak dini, karena penguasaan tiga kemampuan dasar itulah yang menjadi landasan bagi pengembangan pengetahuan selanjutnya.
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia dapat ditunjuk beberapa momen puncak yang dianggap sangat berpengaruh terhadap peri kehidupan manusia selanjutnya. Termasuk dalam momen puncak itu ialah ditemukannya sesuatu sistem perlambangan atau abjad untuk menuliskan segala ihwal yang dianggap perlu untuk dilestarikan agar selanjutnya dapat disajikan kepada khalayak pembaca (reading audience). Momen puncak lainnya ialah tatkala ditemukan teknik cetak serta penjilidan yang memungkinkan terbit dan beredarnya bacaan berupa buku. Sejak munculnya buku sebagainya himpunan tulisan yang bisa diperbanyak jumlahnya dan dapat diedarkan dalam lingkungan khalayak pembaca yang kian meluas, maka meningkat pula laju proses pencerdasan dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh peredaran buku masyarakat yang bersangkutan dimungkinkan untuk menimba himpunan informasi perihal apa saja yang tidak diketahui sebelumnya. Buku sebagai sumber informasi menjadikan seseorang tidak lagi tergantung pada penuturan seseorang secara lisan. Oleh makin banyaknya buku yang terbit dan beredar dalam suatu masyarakat, maka timbullah keperluan untuk penyimpanannya dalam sistem yang berbentuk perpustakaan. Kehadiran perpustakaan merupakan tuntutan mutlak bagi tiap masyarakat yang ingin menjadikan warganya bukan saja kaya informasi (well informed) dan terdidik baik (well educated), melainkan makin bertambah kecanggihan wawasannya (sophisticated).
Untuk berdampak sedemikian itu perpustakaan harus menyediakan bahan bacaan yang dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi khalayak pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan tentu bukan saja merupakan ‘penggudangan buku’, melainkan menjadi tempat penyimpanan informasi, edukasi dan rekreasi. Ketiga kebutuhan ini dapat dilayani oleh perpustakaan yang menyesuaikan koleksinya dengan minat khalayak pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan suatu jenjang pendidikan (school library, university library) tentu menyediakan buku dan bahan bacaan yang berbeda dengan apa yang disimpan oleh perpustakaan umum (public library); demikian juga perpustakaan suatu wilayah (provincial library) menyediakan bahan pustaka yang berbeda dengan apa yang tersedia dalam perpustakaan pedesaan (country library). Pendeknya, perpustakaan sebaiknya dirancang sesuai dengan minat dan kepentingan khalayak dalam kawasannya.
Keanekaan ciri daerha-daerah pemukiman di Indonesia denan sendirinya perlu diperhatikan dalam persebaran perpustakaan; masyarakat perkotaan tentu berbeda minatnya dengan masyarakat pedesaan, masyarakat desa pegunungan tentu berbeda perhatian dan minatnya dengan masyarakat desa pantai, dan begitu seterusnya. Maka manfaaat kehadiran perpustakaan dalam suatu daerah hunian perlu memperhatikan apa yang ingin diperoleh khalayak pembacanya sebagai sumber informasi, edukasi dan rekerasi. Dengan demikian perpustakaan akan tetap memiliki daya tarik untuk dikunjungi, dan dengan ramainya kunjungan ke perpustakaan itu berkembang pula dalam masyarakat yang bersangkutan sikap positif terhadap buku. Kehadiran perpustakaan bukan saja berrjasa dalam menumbuhkan minat baca melainkan juga cinta buku.
Maka adanya prakarsa untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang perlunya kehadiran perpustkaan dalam kawasannya. Banyaknkya kawasan hunian baru yang dibangun oleh para pengembang tidak selalu disertai pengadaan perpustakaan sebagai fasilitas umum. Jangankan di daerah hunian yang sederhana, di kawasan yang tergolong mewah pun perpustakaan sebagai fasilitas umum cenderung dilupakan penyediaannya. Jauh lebih ditonjolkan sebagai keistimewaan adalah adanya shopping mall dan berbagai fasilitas rekreasi ketimbang adanya perpustakaan yang bisa melayai minat para penghuninya.
Dalam hubungan ini perlu disusun perencanaan yang menetapkan mana kawasan pemukiman yang perlu diprioritaskan untuk pembangunan perpustakaan, misalnya kawasan yang penduduknya kurang mampu untuk menyediakan sendiri perpustakaan bagi warganya, seperti masyarakat di kota kecil atau daerah pedesaan. Untuk beberapa kawasan juga dapat dipertimbangkan sejauh mana efektifnya penyelenggaraan perpustakaan keliling (mobile library) yang secara berkala berkunjung ke kawasan pemukiman tertentu. Bahkan pada awal tahun 1990-an pernah dibahas gagasan untuk menyelenggarakan perpustakaan terapung (floating library) untuk berfungsi sebagai perpustakaan keliling di daerah kepulauan (seperti di kepulauan Riau dan Maluku) serta sepanjang sungai-sungai jalur lalulintas angkutan (seperti di Kalimantan).
Tentu saja berbagai kemungkinan tersebut sebaiknya didahului dengan mempelajari apa yang menjadi minat dan kepentingan masyarakat setempat, terutama yang berkenaan dengan usaha peningkatan kualitas kehidupan warganya. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan pula penyediaan bahan pustaka yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat yang bersangkutan, teruatama buku-buku yang merupakan panduan ‘kerjakan sendiri’ (do it your self). Lebih baik lagi kalau buku panduan demikian itu dipulih sesuai dengan kepentingan warga masyarakat setempat untuk melakukan usaha yang dapat menambah sumber penghasilan (income generating) atau dapat membuka lapangan kerja (employment generating).
Selain buku-buku panduan ‘kerjakan sendiri’, tidak kalah pentingnya ialah buku-buku yang bersifat informatif dan edukatif mengenai kesehatan, kebersihan lingkungan hidup, bahaya pencemaran lingkungan, dan bahan bacaan lain yang bisa berdampak positif bagi terjadinya perubahan sikap dan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan terhadap berbagai permasalahan aktual.
Perlu dicatat, bahwa perpustakaan masakini tidak hanya memiliki koleksi buku-buku, melainkan juga berupa perangkat untuk penyajian bahan melalui CD, VCD, CD-ROM, dan sebagainya sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Demikian juga koleksi rekaman film tentang flora dan fauna, dokumentasi sejarah, kelautan, kehutanan, dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, perpustakaan juga bisa berfungsi lebih dari sekedar tempat simpan pinjam bahan pustaka ditambah ruang baca belaka. Perpustakaan modern mestinya bisa berfungsi bagi penyelenggaraan berbagai forum penerangan dan pembahasan tentang masalah-masalah aktual, antara lain melalui penyelenggaraan diskusi panel, seminar, simposium, lokakarya, dan sebagainya. Perpustakaan juga dapat menyelenggarakan acara pameran buku, pemutaran film, perkenalan dengan pengarang dan sastrawan nasional maupun lokal. Melalui berbagai forum pembahasan itu niscaya dapat didorong perkembangan berbagai pemikiran mengenai masalah-masalah aktual yang diahadapi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kemungkinan swakelola perpustakaan oleh masyarakatnya sendiri perlu dipertimbangkan, agar kehadiran dan fungsinya tidak terus-menerus diandalkan pada dukungan sumber daya dari luar, misalnya dari kalangan bisnis dan industri. Namun demikian, dukungan tersebut sebaiknya ditujukan pada tumbuhnya kesanggupan swakelola perpustakaan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kecenderungan untuk menggantungkan eksistensi perpustakaan pada dukungan dari luar masyarakatnya perlu diubah dengan menyadarkan masyarakat yang bersangkutan untukpada suatu saat sanggup secara mandiri mengelola dan mempertahankan kehadiran perpustakaannya demi peningkatan kecerdasan serta mutu perikehidupan warganya. Swakelola perpustakaan bisa menjadi nyata apabila masyarakat yang bersangkutan menyadari betapa perpustakaan dapat menjadi sumber belajar dan pada gilirannya berperan sebagai agen perubahan bagi segenap warganya.
Maka perlu dipikirkan berbagai cara agar perpustakaan dapat dihadirkan di berbagai cara agar perpustakaan dapat dihadirkan di berbagai kawasan pemukiman, terutama yang relatif tertinggal kondisi peri kehidupan dan taraf kesejahteraan. Para pemuka masyarakat yang bersangkutan dapat berusaha menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri yang adakalanya menyisihkan sejumlah dana bagi pengembangan komunitas (community development). Bahan pustaka juga bisa diperoleh melalui kampanye pengumpulan sumbangan buku dan majalah dari perorangan maupun lembaga swadaya masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan tersedianya bahan pustaka dan dokumentasai yang dapat dikumpulkan dari berbagai instansi, terutama bahan bacaan yang bersifat penyuluhan. Dalam kerjasama dengan sekolah-sekolah dapat juga diusahakan pembuatan clipping dari media cetak oleh para pelajar sebagai pekerjaan rumah atau kegiatan ekstra kurikuler yang kemudian diteruskan sebagai sumbangan bahan bacaan di perpustakaan pedesaan.
Pendeknya, banyak cara untuk berusaha menghimpun bahan bacaan yang dapat dimanfaatkan oleh perputakaan pedesaan dan berbagai daerah hunian yang oleh satu dan lain sebab agak terbelakang pendidikannuya. Kehadiran perpustakaan di kawasan demikian itu niscaya besar dampaknya yang bersifat edukatif. Dengan prakarsa tersebut makin meningkatlah perebaran perpustakaan sebagai pusat pembelajaran dan sekaligus efektif berperan sebagai agen perubahan, terutama di kawasan pemukiman yang relatif tertinggal dalam usaha peningkatan kecerdasan serta perbaikan perikehidupan warganya.


Sumber Artikel : 
Kementrian Sosial Republik Indonesia
http://www.kemsos.go.id//modules.php?name=News&file=article&sid=477

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More